Translate

Wednesday 29 April 2020

Friday 3 April 2020

Review Film Sultan Agung, Film Sejarah Kebanggaan Hanung Bramantyo

Film Sultan Agung adalah film karangan sutradara terkenal yang tidak perlu diragukan lagi keahlian dalam membuat film. Yap! Hanung Bramantyo. Sutradara kelahiran Yogyakarta ini berhasil menggarap film sejarah berjudul "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta" dan mememperoleh lebih dari satu juta penonton di layar kaca. Meskipun sudah banyak orang yang membahas film ini, saya ingin membahasnya leih dalam di tahun 2020.


Sinopsis Film


Setelah ayahnya, Panembahan Hanyokrowati wafat, Raden Mas Rangsang yang masih remaja menggantikannya dan diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ini adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mudah. Sultan Agung harus menyatukan adipati-adipati di tanah Jawa yang tercerai berai oleh politik VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen, di bawah panji Mataram. Di sisi lain, ia harus mengorbankan pula cinta sejatinya kepada Lembayung dengan menikahi perempuan ningrat yang bukan pilihannya.


Proses Produksi


Dalam proses pembuatannya, Hanung telah menyiapkan segalanya. Mulai dari lokasi, hingga dialog jawa yang amat sangat halus "krama" telah dipersiapkan dengan sangat matang. Hanung juga telah memilih aktor dan aktris yang tepat untuk memainkan perannya masing - masing. Meskipun demikian, sebagian orang menganggap beberapa aktror dan atau aktris dinilai kurang cocok dan fasih dalam berbahasa jawa. Lokasi yang dipilih sebagai tempat syuting film juga sangat cocok dan dinilai memukau.


Pengenalan Tokoh yang Sangat Baik

Pada pembukaan film, penonton disuguhkan masa muda Raden Mas Rangsang (Marthino Lio) di padepokan tempat ia menuntut ilmu agama dan ilmu lainnya yang ditinggalkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dan diajar oleh Ki Jejer (Deddy Sutomo).
Selain itu, penonton juga disajikan dengan kisah cinta Raden Mas Rangsang dan Lembayung (Putri Marino)yang cukup unik dan menarik. Ada beberapa scene yang dapat menghibur penonton dengan keseruan dan kelucuannya. 

Menurut saya, ini suatu inovasi baru dari film karya Hanung Bramantyo. Dalam bagian pembukaan, Marthino Lio, PutriMarino,dan Deddy Sutomo mampu mengantarkan penonton ke suasana zaman mataram dengan bahasa jawa yang sangat baik dan cukup memukau. Saya sempat dibuat kagum dengan akting Putri Marino yang benar - benar menguasai karakter spenuhnya.
Hanung berhasil menambahkan detail - detail dimana bagi sebagian orang, hal tersebut merupakan hal penting dan tak boleh dilewatkan. Kita juga akan disuguhkan dengan keindahan Mataram masa lampau.


Keunggulan

Film ini menumbuhkan mental perjuangan anak bangsa. Mengingat, film ini dibuat sesuai dengan catatan sejarah. Hanung bramantyo dengan berani dan percaya diri menyuguhkan film yang sangat jarang sekali diminati orang ( dalam proses produksinya). Watak dari Hnung Bamantyo sebagai seorang sutradara ternama yang punya cara sendiri dalam mengendalikan Martinho Lio dan Adinia Wirasti sangatlah hebat. Mereka tampil memukau di layar kaca dan menuai banya sekali pujian. 
Scene peperangan dan konflik yang terjadi dapat menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Selain itu, Hanung mampu membuat film ini benar - benar bernilai dengan pesan moral yang ada di dalamnya. Beberapa aktor dan aktris juga dapat menjadi karakte yang ditokohkan dengan baik. Mengingat, berperan menjadi anggota dari keraton haruslan penuh kehati - hatian. Oleh karena itu, saya mengapresiasi pemeran dan semua tim yang telah bekerja sama dalam pembuatan film ini.


Kekurangan


Setiap film tidak bisa terhindar dari yang namanya kesalahan dan lain sebagainya. Film ini dinilai kerap kali menampilkan adegan yang terlalu dramatis. Atau biasa disebut dramatisasi yang terlalu berlebihan. Sehingga, sekilas saya mengira ini film yang sedikit terlalu memaksa. 
Penggunaan bahasa jawa oleh beberapa tokoh juga dinilai terlalu kaku. Sehingga, hampir tidak sesuai dengan logat khas orang jawa. Ditambah dengan kurang gregetnya akting dari beberapa pemeran seperti: Adinia Wirasti (Lembayung dewasa) dan Christine Hakim (Ibu RM Rangsang)
Scene kematian Jan Pieterszoon Coen yang kurang memuaskan dan dinilai terlalu memaksa sangatlah mengganggu.


Rating

Film ini sangat cocok ditonton oleh kalangan remaja. Dengan demikian, para remaja bisa menghargai dan banyak belajar dari perjuangan Sultan agung di film ini. Meskipun terdapat beberapa kekurangan, tapi tetep kok Overall film ini kece.
Score: 8,5/10